Setelah agak molor cukup lama. kali ini Gerbang films akan kembali melanjutkan proses produksi film Omnibus "The Color of Life"
sampai saat ini proses kreatif masih dijalankan. sebagaimana demi mendapatkan cerita yang bermutu dan berkualitas.
sampai saat ini ada 5 orang sutradara yang akan berpartisipasi dalam produksi ini :
1. Muhammad Valdy.
2. Dias Isa Arasyi.
3. T. Rian Herwanto.
4. M. Fazrie Permana.
5. A. Latistia Tenri Wiguna.
kelima orang diatas saat ini sedang memulai mematangkan cerita masing-masing.
sementara di departement produksi sendiri kami akan berusaha secepat mungkin menyelesaikan proses presentasi kepada pihak sponsorship. Dalam produksi kali ini Gerbang Films juga menggandeng Production House lain, dimana Cendrawasih Films akan bekerjasama dalam produksi omnibus ini sendiri dan PT. Bintang Dirgahayu Film yang akan menangani proses eksebisi dan disribusi film kami nanti.
Proses kreatif dan persipan yang panjang juga kami yakin dapat mematangkan segala konsep yang akan kami persiapkan.
Sukses untuk Perfilman Indonesia!
Monday, August 8, 2011
Sunday, May 8, 2011
Pentingnya sebuah proses RISET
Hai guys, pengen bagi – bagi ilmu nih! Kebetulan saya dapet mata kuliah sosiologi film, dan bahasannya menarik sekali mudah – mudahan bisa berguna buat temen – temen yang mau mencoba membuat film.
Jadi ada 3 unsur yang yang dapat membuat seorang individu atau kelompok sosial melakukan diskriminasi, yaitu :
· Labelling
· Stereotyping
· Prejudising
Nah, yang kita bahas disini adalah masalah labelling dan stereotyping (prejudisingnya belom dajarin, hehe). Labelling adalah memberikan cap atau label pada individu atau kelompok sosial dan stereotyping blablablabla
Sekarang hubungan antara keduanya dengan film adalah :
Film atau sinetron selalu memiliki unsur stereotype didalamnya, hanya tergantung dari dominan atau tidaknya unsur stereotype tersebut. Kita sebagai film maker memang tidak mungkin menghilangkan unsur tersebut, kita hanya bisa meminimalisasi atau lebih bagus lagi “menghacurkan” stereotype yang ada dalam masyarakat melalui film kita. Contoh stereotype dalam film yang berdampak negatif itu seperti penggambaran suku tertentu yang memiliki sifat buruk contohnya orang betawi digambarkan sebagai orang – orang yang bodoh, orang jawa digambarkan sebagai orang yang udik. Coba kalian perhatikan, jika ada tokoh yang berlogat medok jawa dalam ftv2 atau film pasti ia berkarakter udik atau kampungan, saya sendiri pernah menyaksikannya di sebuah ftv. Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut saya, hal ini terjadi karena kurangnya observasi dan riset dari si film maker khususnya sang penulis skenario dan sutradaranya. Apabila kita ingin menggambarkan suatu tokoh, suku, tingkat sosial, dan elemen2 lain dalam film kita nanti alangkah baiknya jika kita meRISET terlebih dahulu, observasi lebih dalam lagi tentang apa yang akan kita gambarkan dan ceritakan. Karena coba kalian bayangkan kalau kita menggambarkan hal2 itu dengan asal2an dan tidak hati – hati apa kita bisa bertanggung jawab tentang pemikiran orang lain yang menonton film kita? bagaimana penilaian mereka terhadap apa yang mereka tonton? Mereka bisa saja percaya atau tidak suka terhadap apa yang kita buat. Apa dampaknya kalau mereka percaya dan apa dampaknya kalau mereka tidak suka dan tersinggung? Hayoo, bisakah kalian pikirkan?
Wednesday, March 9, 2011
Coming Soon!
Cerita tentang kehidupan.
Sebagaimana kehidupan yang kita jalani di dunia ini.
Kita sendirian! Itulah penggambaran yang tepat untuk menggambarkan sedikit tentang kehidupan kita di dunia yang hanya bersifat sementara. Keluarga dan lingkungan hanya baersifat pelengkap. Selebihnya kita hanya sendirian. Hingga kita mati pun kita sendirian.
Tokoh A, B, C, D, dan E. Lima tokoh kita, dimana dari kelima tokoh tersebut otomatis kita memiliki lima cerita yang dapat dijabarkan. Dari kelima tokoh tersebut sengaja dibuat tidak berkaitan sama sekali. Agar dapat menjelaskan secara lebih rinci tentang kehidupan manusia yang sendirian. Kelima tokoh tersebut kemudian akan menjalani “skenario” cerita kehidupannya masing-masing. Dari kelima tokoh yang ada mereka akan melalui problematika mereka dengan kekuatan dan cara mereka masing-masing. Dimana akan dibuat seolah-olah mereka memiliki batas dan kemampuannya sendiri dalam menghadapi persoalannya. Dan pada endingnya mereka semua akan dipersatukan dalam satu lingkup yang jelas dan dalam keadaan mereka masing-masing yang mana mereka berhasil atau tidaknya menjalani “sesi” kehidupan mereka.
Yang dimaksudkan disini adalah ketika kita menjalani “skenario” kehidupan kita sendiri, kita tentu tidak mengetahui masalah atau kehidupan orang lain meskipun mereka ada di lingkup yang sama dengan kita. Terkadang kita menganggap hidup kita yang terberat atau malah menyepelekan problematika orang lain, akan tetapi kita sama sekali tidak memahami apa masalha dari orang tersebut. Parah nya kita akan menganggap orang lain tidak memiliki masalah sebesar masalah kehidupan kita. Padahal setiap masalah yang hadir di kehidupan kita tentu sudah memiliki porsinya yang berbeda. Apabila kita dianggap lebih kuat, maka kita akan menghadapi masalah yang lebih besar, kita sudah memiliki porsi kehidupan kita. Yak, itulah yang terjadi.
Dalam sebuah ending yang singkat dimana semua tokoh yang berada dalam satu lingkup, dimana mereka melakukan kegiatannya masing-masing, dapat dibayangkan apabila kita berada dalam sebuah Mal atau Pasar. Ada banyak orang disana, ada banyak kehidupan disana, tetapi kita tidak mengetahui problematika oran-orang tersebut, sebesar apa masalahnya, dan semudah atau sesulit apa mereka menghadapinya. Dan yang paling tepat untuk menggambarkan secara keseluruhan itu adalah “The Color Of Life”. Warna dapat menggambarkan kehidupan, ada hitam, merah, kuning, hijau dan biru. Atau warna-warna lain yang sanggup mewakili kehidupan itu sendiri. Kehidupan memang memiliki Warna.
Friday, February 11, 2011
Sinetron Indonesia
Sinetron Indonesia.
Pertama kita denger kalimat itu, mungkin yang terlintas di pikiran kita adalah sinetron yang gitu-gitu aja, dan tayang tiap hari, episodenya panjang, gak tamat-tamat, dan akting tiap pemainnya sangat berlebihan (kalo di kehidupan nyata, jelaslah kita gak mungkin kalo ngomong ato marah matanya sambil melotot) satu lagi, dandanan, dandanannya sangat berlebihan.
Ya memang itulah yang terjadi di sinetron Indonesia sekarang, yang penting pemain (saya gak menyebut mereka aktor atau aktris) ganteng, atau cantik, masalah akting mah gampang, kan shot-shotny juga cuma medium sama close up, pergerakan atau aktingnya gak akan keliatan.
Padahal kalo kita inget sinetron Indonesia jaman dulu, kayak Si Doel anak Sekolahan, Cinta, Lupus dll, yang masih tayang seminggu sekali, sinetronnya bagus, pemainnya juga terasah, dan tentunya kreativitas para pembuatnya gak diancam dan gak dipaksa untuk terus berproduksi.
Coba bayangkan, kalo sinetron tayang tiap hari, berarti idealnya proses shooting ada waktu 24 jam dalam satu hari, untuk tayang jam 8 misalnya, berarti shooting pagi sampai sore, trus abis itu masuk editing, trus malemnya tayang, atau lebih seringnya pada saat malam tayang proses shooting untuk episode keesokannya masih berjalan.
Silahkan bayangkan sendiri, kapan waktu istirahat utuk pemain dan kru nya. dan tetntu saja hasilnya gak akan memuaskan, karena ya itu tadi, dengan waktu shooting yang minim banget, gimana cara pembuat sinetron buat berkreasi. Bahkan Sinetron Wiro Sableng dulu aja masih jauh lebih baik.
Mudah-mudahan aja sinetron Indonesia kembali ke era masa dulu yang masi bisa berkreasi dan kerja yang sehat. karena jaman sekarang yang dibayar mahal ya pemainnya yang gk punya kualitas akting itu.
Pertama kita denger kalimat itu, mungkin yang terlintas di pikiran kita adalah sinetron yang gitu-gitu aja, dan tayang tiap hari, episodenya panjang, gak tamat-tamat, dan akting tiap pemainnya sangat berlebihan (kalo di kehidupan nyata, jelaslah kita gak mungkin kalo ngomong ato marah matanya sambil melotot) satu lagi, dandanan, dandanannya sangat berlebihan.
Ya memang itulah yang terjadi di sinetron Indonesia sekarang, yang penting pemain (saya gak menyebut mereka aktor atau aktris) ganteng, atau cantik, masalah akting mah gampang, kan shot-shotny juga cuma medium sama close up, pergerakan atau aktingnya gak akan keliatan.
Padahal kalo kita inget sinetron Indonesia jaman dulu, kayak Si Doel anak Sekolahan, Cinta, Lupus dll, yang masih tayang seminggu sekali, sinetronnya bagus, pemainnya juga terasah, dan tentunya kreativitas para pembuatnya gak diancam dan gak dipaksa untuk terus berproduksi.
Coba bayangkan, kalo sinetron tayang tiap hari, berarti idealnya proses shooting ada waktu 24 jam dalam satu hari, untuk tayang jam 8 misalnya, berarti shooting pagi sampai sore, trus abis itu masuk editing, trus malemnya tayang, atau lebih seringnya pada saat malam tayang proses shooting untuk episode keesokannya masih berjalan.
Silahkan bayangkan sendiri, kapan waktu istirahat utuk pemain dan kru nya. dan tetntu saja hasilnya gak akan memuaskan, karena ya itu tadi, dengan waktu shooting yang minim banget, gimana cara pembuat sinetron buat berkreasi. Bahkan Sinetron Wiro Sableng dulu aja masih jauh lebih baik.
Mudah-mudahan aja sinetron Indonesia kembali ke era masa dulu yang masi bisa berkreasi dan kerja yang sehat. karena jaman sekarang yang dibayar mahal ya pemainnya yang gk punya kualitas akting itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)